Daun-daun kering mulai berjatuhan dari pohon-pohon akasia, sepertinya angin telah datang, akupun merasa senang, lalu kupejamkan mataku, duduk dengan tenang di sebuah kursi panjang hitam dan usang.
.
Angin mulai berbisik ditelingaku, terdengar riuh namun begitu menenangkan, kemudian membelai wajahku dengan perlahan.
.
Namun tiba-tiba kudengar suara langkah kaki, suara itu terdengar semakin dekat, tak lama kurasakan seseorang tengah duduk disampingku.
.
Ah aroma ini, seperti tidak asing bagiku, aroma yang biasa ku nikmati bersama wanginya seduhan kopi.
.
"Tadi aku cari dirumah kamu tidak ada, rupanya sedang duduk sendirian dihalaman belakang".
.
Tebakanku benar, aroma ini adalah miliknya. Namun belaian angin kembali merayuku, membuatku tak ingin membuka mataku.
.
"Sepulang dari kantor tadi tiba-tiba aku ingin mampir sebentar," sahutnya.
.
Tercium bau tembakau, sudah pasti saat ini ia sedang membawa sebatang rokok yang menyala.
.
"Huusf dingin sekali disini, masuk yuk".
.
"Kamu dengar itu?", tanyaku.
.
"Dengar apa?".
.
Akupun terdiam sejenak,
.
"angin sedang merayuku", jawabku sembari tersenyum.
.
"Kamu sudah gila rupanya", sahutnya dengan nada bercanda.
.
Aku hanya tersenyum, lalu kulepas ikat rambutku, ku biarkan ia tergerai, helai demi helai menyentuh wajah dan telingaku, sepertinya angin sedang membelainya, perlahan kurasakan udara dingin menjalar di tengkuk leherku.
.
"Saat ini angin sedang berbisik ditelingaku", kataku masih dengan mata terpejam.
.
Lalu kudengar ia tertawa pelan.
.
"Berhentilah melakukan itu, akhir-akhir ini aku sibuk, kusempatkan datang menemuimu, ayolah.. seharusnya kamu segera membuatkanku secangkir kopi panas" sahutnya.
.
Namun aku tak mau beranjak sedikitpun, ah.. aku tak ingin, aku sedang menikmatinya.
.
"Kamu mau mencobanya?", tanyaku.
.
"Apa?".
.
"Bercumbu dengan angin".
.
Diapun tertawa.
.
"Apa kamu ingin kita segera menikah?", sahutnya,
"haruskah segera kutemui orang tuamu besok?", tambahnya lagi.
.
Aku tau ia sedang bergurau, ia sedang mencoba mengusikku dengan pertanyaan itu, namun aku tak akan menghiraukannya.
.
"Ayolah, sebelum kerutan di wajahmu itu semakin bertambah, kamu ingin terlihat cantik saat pesta pernikahan bukan?", sahutnya lagi mencoba mengusikku.
.
Mendengar perkataannya dahiku berkerut, namun kurasakan angin tak jua berhenti mencumbuku, membuatku kembali tenang, membelai lembut dahi dan pipiku, terasa dingin sekali namun aku menyukainya, membuatku kembali tersenyum.
.
"Lihatlah, banyak lemak disana-sini, pipimu semakin bertambah tembam saja, turunkan berat badanmu, jangan sampai dengan gaun pernikahan kamu terlihat bulat," bisiknya di telingaku.
.
Seketika aku membuka mata, aku mencoba untuk kembali tenang namun tak bisa, sungguh menyebalkan sekali, akupun merasa terusik.
.
Lalu tak kurasakan lagi rambutku terbelai angin, tengkuk leherku terasa hangat, tak ku dengar lagi angin berbisik ditelingaku, akupun melihat sekitar, daun-daun kering tak lagi berjatuhan, lalu aku menatapnya dengan kesal, terlihat ia sedang menahan tawa.
.
"Ah akhirnya sang angin sudah pergi sekarang, sepertinya ia cemburu", sahutnya, lalu tertawa terbahak-bahak.
.
Aku hanya terdiam memandangnya, rambutnya sedikit berantakan karena angin, wajahnya terlihat lelah, urusan pekerjaan pasti membuatnya harus begadang akhir-akhir ini, dan bagaimanapun saat melihatnya tertawa rasa kesalku tiba-tiba menjadi hilang.
.
"Suatu hari aku akan mengajakmu ke pantai, kau boleh melakukan hal gila seperti tadi sepuas hatimu, angin tak akan meninggalkanmu", katanya mencoba menghiburku, dan akupun kembali tersenyum.
.
"Mau kopi?" tanyaku.
.
Iapun menyambutnya dengan wajah senang.
.
"Tentu."
End.
Angin mulai berbisik ditelingaku, terdengar riuh namun begitu menenangkan, kemudian membelai wajahku dengan perlahan.
.
Namun tiba-tiba kudengar suara langkah kaki, suara itu terdengar semakin dekat, tak lama kurasakan seseorang tengah duduk disampingku.
.
Ah aroma ini, seperti tidak asing bagiku, aroma yang biasa ku nikmati bersama wanginya seduhan kopi.
.
"Tadi aku cari dirumah kamu tidak ada, rupanya sedang duduk sendirian dihalaman belakang".
.
Tebakanku benar, aroma ini adalah miliknya. Namun belaian angin kembali merayuku, membuatku tak ingin membuka mataku.
.
"Sepulang dari kantor tadi tiba-tiba aku ingin mampir sebentar," sahutnya.
.
Tercium bau tembakau, sudah pasti saat ini ia sedang membawa sebatang rokok yang menyala.
.
"Huusf dingin sekali disini, masuk yuk".
.
"Kamu dengar itu?", tanyaku.
.
"Dengar apa?".
.
Akupun terdiam sejenak,
.
"angin sedang merayuku", jawabku sembari tersenyum.
.
"Kamu sudah gila rupanya", sahutnya dengan nada bercanda.
.
Aku hanya tersenyum, lalu kulepas ikat rambutku, ku biarkan ia tergerai, helai demi helai menyentuh wajah dan telingaku, sepertinya angin sedang membelainya, perlahan kurasakan udara dingin menjalar di tengkuk leherku.
.
"Saat ini angin sedang berbisik ditelingaku", kataku masih dengan mata terpejam.
.
Lalu kudengar ia tertawa pelan.
.
"Berhentilah melakukan itu, akhir-akhir ini aku sibuk, kusempatkan datang menemuimu, ayolah.. seharusnya kamu segera membuatkanku secangkir kopi panas" sahutnya.
.
Namun aku tak mau beranjak sedikitpun, ah.. aku tak ingin, aku sedang menikmatinya.
.
"Kamu mau mencobanya?", tanyaku.
.
"Apa?".
.
"Bercumbu dengan angin".
.
Diapun tertawa.
.
"Apa kamu ingin kita segera menikah?", sahutnya,
"haruskah segera kutemui orang tuamu besok?", tambahnya lagi.
.
Aku tau ia sedang bergurau, ia sedang mencoba mengusikku dengan pertanyaan itu, namun aku tak akan menghiraukannya.
.
"Ayolah, sebelum kerutan di wajahmu itu semakin bertambah, kamu ingin terlihat cantik saat pesta pernikahan bukan?", sahutnya lagi mencoba mengusikku.
.
Mendengar perkataannya dahiku berkerut, namun kurasakan angin tak jua berhenti mencumbuku, membuatku kembali tenang, membelai lembut dahi dan pipiku, terasa dingin sekali namun aku menyukainya, membuatku kembali tersenyum.
.
"Lihatlah, banyak lemak disana-sini, pipimu semakin bertambah tembam saja, turunkan berat badanmu, jangan sampai dengan gaun pernikahan kamu terlihat bulat," bisiknya di telingaku.
.
Seketika aku membuka mata, aku mencoba untuk kembali tenang namun tak bisa, sungguh menyebalkan sekali, akupun merasa terusik.
.
Lalu tak kurasakan lagi rambutku terbelai angin, tengkuk leherku terasa hangat, tak ku dengar lagi angin berbisik ditelingaku, akupun melihat sekitar, daun-daun kering tak lagi berjatuhan, lalu aku menatapnya dengan kesal, terlihat ia sedang menahan tawa.
.
"Ah akhirnya sang angin sudah pergi sekarang, sepertinya ia cemburu", sahutnya, lalu tertawa terbahak-bahak.
.
Aku hanya terdiam memandangnya, rambutnya sedikit berantakan karena angin, wajahnya terlihat lelah, urusan pekerjaan pasti membuatnya harus begadang akhir-akhir ini, dan bagaimanapun saat melihatnya tertawa rasa kesalku tiba-tiba menjadi hilang.
.
"Suatu hari aku akan mengajakmu ke pantai, kau boleh melakukan hal gila seperti tadi sepuas hatimu, angin tak akan meninggalkanmu", katanya mencoba menghiburku, dan akupun kembali tersenyum.
.
"Mau kopi?" tanyaku.
.
Iapun menyambutnya dengan wajah senang.
.
"Tentu."
End.
No comments:
Post a Comment